ISTRI YANG SELALU MEMINTA

 ISTRI YANG SELALU MEMINTA

"Mas, tolong angkatin galon, dong!"

Seruan itu terdengar dari arah dapur. Fokusku terpecah! Sebuah peluru dari lawan mengenai bahuku. Aku terjajar, bahkan nyaris jatuh. Tangan sang tokoh dalam gim yang sedang aku mainkan menekan bagian tubuh yang terluka. Aku sembunyi di balik pohon, mengintai musuh yang mencari-cari aku.

"Mas!"

Dor!

Aku tewas seketika. Game over.

"Apa, sih, Dek?" tanyaku gusar.

"Angkatin galon." Kali ini suaranya mendayu manja.

"Gitu aja nggak bisa!" Aku bangkit dengan kesal lantas menuju dapur. Heran! Angkat barang begitu saja nggak bisa. Bagaimana kalau aku nggak ada? Apakah dia harus menahan haus sampai aku pulang?

Sambil mendengkus, aku mengangkat galon yang bagian atasnya telah Nova bersihkan.

"Terima kasih, Cinta," ujar Nova sambil mencolek bokongku.

***

"Mas, bagi duit 100, ya."

Nova memberikan dompetku. Dia baru saja mengambilnya dari celana panjang yang aku gantung di belakang pintu. Jika butuh uang, dia tak akan lancang mengambilnya sendiri.

"Buat apa lagi, sih? Kan tiga hari lalu sudah aku kasih. Masa sudah habis?"

"Anu, Mas."

"Anu apa? Mau alasan beras naik? Minyak goreng mahal? Kalau uang mingguanmu habis, ya, berhemat, dong! Minyak beli secukupnya saja!"

Nova terdiam. Sedetik kemudian sudut bibirnya bergerak-gerak.

Dasar cengeng! Begitu saja mewek! Aku mengeluarkan uang yang dia minta.

"Nggak jadi, Mas. Makasih."

"Dasar ambekan!" umpatku sambil memasukkan kembali lembaran itu ke dompetku.

Dia keluar dari kamar dengan wajah cemberut.

Nova begitu boros. Masa, 300 ribu seminggu nggak ada cukup-cukupnya. Anak kami dua orang. Sulungku baru masuk SD sementara yang bungsu baru tiga tahun. Kata ibuku, 300 ribu untuk satu minggu sudah lebih dari cukup jika istriku pandai berhemat. Saat ibuku masih seusia kami, anaknya empat dan bapak hanya memberinya 20 ribu seminggu.

***

"Mas, Mas." Nova mengguncang tubuhku.

Aku yang baru tertidur pukul tiga dini hari menjadi kaget. Segera aku melihat jam dinding yang menunjuk ke angka tujuh.

"Ada apa, sih, Dek?"

"Gantiin gas. Mau bikin kopi. Sudah aku beli di warung. Tapi nggak bisa masangnya," rengek Nova.

"Astagfirullah! Gitu aja kamu nggak bisa! Mau jadi apa kamu, Nova!" hardikku. "Kau takut gas meledak? Emangnya itu tabung gas nggak akan meledak di wajahku?"

Nova menciut. "Ya, udah, Mas. Tidur lagi saja. Biar aku coba," ujarnya.

"Sudah! Biar aku saja! Kalau mau coba mah dari tadi! Bukannya membangunkan orang tidur terus ngambek!"

Aku ke dapur dan memasangkan tabung gas. Kompor aku tes. Setelah api menyala dengan baik, aku menuju kamar mandi.

***

"Dek, ini uang belanja buat seminggu."

"Makasih, Mas," ucapnya.

"Kurang nggak?"

Nova menggeleng.

Aku menatapnya dengan heran. Biasanya, dia selalu minta tambahan. Dua puluh ribu, kadang lima puluh ribu atau seratus ribu. Akan tetapi, rasanya sudah lama sekali aku tak mendengarnya merayu untuk meminta tambahan uang. Ya, sudahlah. Mungkin Nova mulai pandai berhemat. Setelah membuka pakaian, aku ke kamar mandi.

"Dek!" panggilku dari dalam kamar mandi. "Sabun mukanya mana?" tanyaku.

"Habis, Mas," jawabnya.

"Aduh! Kok, nggak beli, sih?"

"Pake sabun badan aja, Mas," sahut Nova.

Aku membasuh wajah dengan sabun batang yang ada kemudian mengambil botol sampo.

"Dek! Ini sampo kok isinya air doang, sih?"

"Masih bisa dipake itu, Mas," sahutnya.

"Dek." Aku menongolkan wajah dari kamar mandi. "Tolong belikan sampo bentar."

Nova bergegas pergi. Tak lama kemudian dia memberikan satu saset sampo.

"Kok beli yang saset, sih? Kenapa nggak sekalian yang gede?"

"Mas. Minyak, beras dan gula lebih utama. Harus selalu tersedia di dapur. Nggak ada sampo bisa pakai sabun batang, usap ke rambut. Orang jaman dulu nggak ada yang sampoan kok, kepala mereka baik-baik saja, 'kan," cerocosnya.

"Nyindir, nih?" godaku. Aku memang sering membandingkan gaya hidup orang-orang sekarang dengan jaman dulu.

Nova hanya membuang wajah.

***

Tiga minggu telah berlalu. Tidak pernah lagi aku mendengar Nova meminta tolong untuk diangkatkan galon atau minta dipasangkan tabung gas. Dia pun tidak pernah lagi meminta tambahan uang mingguan. Kehidupan kami baik-baik saja. Anak-anak lincah dan sehat seperti biasa.

Suatu hari, aku ke dapur untuk mencari Nova yang tak kudengar suaranya sejak pagi. Aku lihat dia tengah membungkuk-bungkuk di lantai.

"Ngapain, Dek?" tanyaku. Anak-anak sedang asyik duduk di lantai sambil memukul-mukul ubin yang basah dengan telapak tangan.

"Ini, Mas. Tadi aku angkat galon, eh, terguling. Jadi tumpah."

Aku melihat galon sudah terpasang di tempatnya. Mungkin dia mengangkat sendiri lalu terjadi insiden hingga airnya berceceran di lantai.

"Kok nggak minta angkatin, sih? Iya tumpah, kalau nimpa kaki gimana?”

Nova tersenyum kecut. Aku berjalan hati-hati karena lantai yang basah. Baru saja aku hendak menggendong si bungsu untuk mengganti celananya, Nova mencegah.

"Biar saja, Mas. Nanti sekalian anak-anak mau aku mandikan."

Karena dilarang, aku mengajak si sulung saja.

"Nggak usah, Mas. Biar sama aku saja," tolaknya.

"Nggak apa, Dek. Kan kamu masih ngepel."

"Udah, nggak apa, Mas." Nova memasukkan lap ke ember lalu mengajak anak-anakku ke kamar mandi.

Aku memindai seluruh dapur. Semua sudah beres. Tampaknya Nova sedang tidak butuh bantuanku. Ya, sudah. Aku kembali ke ruang tengah lantas menyalakan televisi.

Tak lama kemudian, anak-anak sudah bersih dan rapi. Mereka berlarian di depanku. Saling kejar, bahkan beberapa kali si bungsu hampir menabrakku.

"Aduh! Pada bisa tenang nggak, sih?! Papa mau nonton, nih!"

Nova yang tadinya berada di dapur segera muncul dan membawa anak-anak agar bermain di dapur saja.

Aku dapat menonton dengan tenang, tetapi menjadi tak enak hati. Belakangan ini Nova menjadi irit bicara. Tidak meminta bantuan atau meminta uang dengan kata-kata menggoda. Kok, jadi rindu, ya?

Pernah juga, aku melihat Nova mengompres dahi si bungsu. Waktu itu aku baru pulang dari kantor. Saat kutanyakan, rupanya anakku demam dan Nova telah membawanya berobat. Aku bertanya dengan apa dia pergi ke dokter. Nova menjawab bahwa mereka menumpang ojek.

***

“Mas, aku pamit pergi sama Mbak Sinta, ya.”

“Mau ke mana?” Sinta adalah kakak iparnya Nova. Dia menikah dengan saudara lelaki Nova.

“Nengok Ibu,” jawabnya.

“Loh, Ibu kenapa, Dek?”

“Ibu masuk rumah sakit, Mas. Udah dari kemarin.”

“Kok, kamu nggak ngasih tau aku, Dek?”

“Aku sudah kirim pesan sama Mas. Tapi dibaca doang,” keluhnya.

Aku ingat. Dua hari yang lalu, dia memang mengirim pesan bahwa akan pergi ke rumah ibu. Aku membacanya saja karena dia tak meminta apa pun.

“Biar aku antar saja,” ujarku.

“Udah. Nggak apa, Mas. Udah kadung janjian ini,” tolaknya. “Anak-anak aku bawa, Mas. Belum tahu pulangnya jam berapa.”

Baru kali ini aku merasa benar-benar diabaikan. Ibunya Nova kan ibuku juga. Masa dia mau pergi sama Mbak Sinta. Aku juga menantu ibunya, bukan? Seharusnya aku yang lebih wajib menemani Nova untuk membesuk ibu mertua.

Mbak Sinta menjemput dengan motor. Aku pun akan mengantar Nova dengan kendaraan roda dua. Sama-sama bisa kehujanan atau kepanasan. Nova dan anak-anak akan lebih aman jika pergi denganku karena aku adalah lelaki! Namun, dia lebih suka bepergian dengan orang lain. Hal itu telah membuatku amat tersinggung.

***

Aku menunggu hingga sore. Dia belum juga pulang. Sehabis Magrib, sebuah SUV hitam berhenti di depan rumahku. Nova turun seorang diri. Dia masuk rumah dengan wajah berurai air mata.

Aku yang sejatinya hendak marah menjadi iba melihatnya.

“Ada apa, Dek?” tanyaku cemas. SUV milik kakak lelakinya masih menunggu di depan rumah.

“Ibu meninggal, Mas. Tadi sore,” tangisnya pecah. Nova mengemasi pakaian anak-anak, juga pakaiannya sendiri.

“Kok, kamu nggak ngabarin aku, Dek?” Aku merengkuh tubuhnya agar dia menangis di dadaku. Namun, Nova menolak karena sibuk mengambil pakaian.

“Selama ini Mas nggak pernah menjawab pesanku. Paling dibaca doang. Jadi aku pikir, Mas nggak bakal merespon kalau aku kirim pesan. Makanya aku nggak langsung ngabarin tadi sore.”

Aku tergugu. Benar apa yang Nova katakan. Aku hampir tidak pernah menjawab pesan-pesan yang dia kirim padaku. Hanya aku baca lalu kulupakan. Rupanya hal itu membuatnya kapok lantas menganggapku tak ada. Aku hanya beberapa kali saja membentaknya saat minta dibantu mengangkat galon, tetapi hal itu telah menorehkan luka di hatinya. Aku cemberut saat memasang tabung gas, itu saja sudah cukup bagi Nova untuk tak lagi meminta bantuanku. Saat ibu mertuaku berpulang pun, dia sampai tak tergerak hati untuk memberi tahu karena mengabari atau tidak, sudah sama saja baginya.

Saat Nova kembali naik ke SUV hitam yang menunggunya. Aku bergegas menyambar peci dan mengunci pintu rumah. Aku membuntuti mobil itu menuju ke rumah duka. Anak-anakku pasti rewel di sana. Di mana Nova akan terduduk dan membalut luka kehilangannya seorang diri.

***

Astagfirullah hal Adzim. Untuk para lelaki yang bergelar suami. Bersyukurlah jika istrimu masih meminta bantuanmu. Berterima kasihlah saat dia masih menadahkan tangan untuk meminta sebagian dari rezekinya yang Allah titipkan padamu. Karena jika dirinya tidak lagi meminta, itu pertanda bahwa kau sudah tak lagi mengisi relung hatinya.❤️🥺

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Untuk Yang Membutuhkan

Free Voucher

CARA CARI CUAN DI USAHA PROPERTY